"Emas lunak" yang masih terpendam
Masih ada tambang emas tersembunyi di Nusantara. Dialah sidat yang dalam risalah China kuno disebut emas lunak.Jika Anda mencari komoditas perikanan budidaya yang eksotis, seksi, lagi bergizi, ikan sidatlah jawabannya. Mengapa? “Sekarang, sidat itu industri. Cerah banget pasarnya. Permintaannya tinggi, produksinya pun tak bisa mengimbangi,” sambut Saut Parulian Hutagalung, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penuh semangat saat ditemui AGRINA.
Masih ada tambang emas tersembunyi di Nusantara. Dialah sidat yang dalam risalah China kuno disebut emas lunak.Jika Anda mencari komoditas perikanan budidaya yang eksotis, seksi, lagi bergizi, ikan sidatlah jawabannya. Mengapa? “Sekarang, sidat itu industri. Cerah banget pasarnya. Permintaannya tinggi, produksinya pun tak bisa mengimbangi,” sambut Saut Parulian Hutagalung, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penuh semangat saat ditemui AGRINA.
Permintaan akan sidat terutama datang dari Negeri Sakura. “Biasanya kita begitu banyak makan unagi --sebutan sidat di Jepang. Itu makanan sehari-hari,” jelas Okami Hideyuki, Wakil Direktur Japan Indonesia Association for Economy Cooperation (JIAEC). Menurut Hideyuki, saat musim panas (akhir Juli - awal Agustus) warga Jepang memiliki hari khusus mengonsumsi unagi, yaitu Doyō Ushinohi. Selain baik untuk kesehatan dan menambah stamina, mengonsumsi unagi juga dipercaya bisa menambah umur selama setahun ke depan. Menu unagi yang populer adalah unagi kabayaki (sidat panggang).
Saat musim santap unagi tiba, permintaan sidat melonjak.
Warga Jepang di seluruh dunia berbondong mengonsumsi unagi. Akibatnya,
harga sidat melambung dua kali lipat. Tak hanya di negara asal, kemeriahan
bisnis sidat menjalar ke Indonesia.
Permintaan Tinggi
Menurut Hisayasu Ishitani, Presiden Direktur PT Jawa
Suisan Indah (JSI), perusahaan pembudidaya dan pengolah sidat di kawasan
Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jabar, permintaan kabayaki di Jepang sekitar
170 ribu ton/tahun yang dipenuhi dari lokal dan impor. Hanya saja,
permintaannya turun jadi 150 ribu ton/tahun karena harganya mahal. Permintaan
olahan sidat juga datang dari China dan Korea, masing-masing 7.000 ton/tahun.
Untuk membuat produk olahan sidat, setidaknya dibutuhkan
bahan baku dua kali lipatnya, yaitu 300 ribu ton/tahun (Jepang) dan 140 ribu ton/tahun
(China dan Korea). Potensi pasar yang besar ini diakui Yopie Yuliarso,
pembudidaya sidat skala rumahan di daerah Kalimalang, Jaktim. “Potensi market-nya
bukan main, Jepang butuh sekitar 190 ribu ton/tahun,” ucapnya.
Aleksander Bagus Widiarso, pembudidaya sidat di
Yogyakarta, pun sependapat. “Permintaan (konsumsi) pada 2010 baru 800 kg/bulan.
Kini 2 ton/bulan. Tapi, kami cuma mampu produksi 1,2 - 1,3 ton per empat bulan.
Harganya pun terus meningkat,” serunya.
Sebagai negara penghasil sidat, Indonesia tidak
serta-merta mampu menyuplai permintaan pasar yang demikian besar. Menilik data
yang dihimpun KKP, tahun lalu saja ekspor sidat hanya 2.068 ton hidup, 352 ton
segar, dan 730 ton beku, dengan nilai total US$10,297 juta. Ekspor ini lebih
rendah dibandingkan 2010, yaitu 3.341 ton hidup, 1.026 ton segar, dan 434 ton
beku dengan nilai US$25,732 juta. Saut menjelaskan, tercatat tiga perusahaan
eksportir sidat, yaitu PT South East Java Korea, PT JSI sebesar 350 ton/tahun,
dan PT Suri Tani Pemuka sebanyak 150 ton/tahun.
Tiga Potensi Pasar
Pasar utama sidat adalah Jepang, Korea, Taiwan, China,
dan Thailand. Namun, ungkap Saut, saat ini ada tiga potensi pasar yang mungkin
digarap Indonesia. ”Pertama, negara yang penduduknya mengonsumsi (sidat).
Kedua, substitusi impor di dalam negeri. Ketiga, restoran Jepang dan Korea yang
ada di luar negaranya,” terang Dirjen.
Dewasa ini pertumbuhan jumalh restoran Jepang dan Korea
begitu marak di dalam negeri. Tak hanya warga asing, warga pribumi pun mulai
menggemari masakan sidat. Sidat merupakan menu favorit kedua setelah salmon.
“Orang Indonesia sudah banyak. Pengunjungnya 50% orang kita, 30% Jepang, 20%
campuran Korea,” ungkap Iwan Gunawan, Executive Chef Sakura Restaurant,
restoran Jepang di kawasan Sudirman, Jakarta.
Pelaku usaha restoran membutuhkan sidat dalam bentuk
olahan shirayaki (sidat panggang tanpa saus) atau kabayaki (sudah
ditambahkan saus). Namun, jika suplai tak ada, mereka mengolah sendiri dari fillet
sidat. Sayangnya, bahan baku untuk restoran sebagian masih diimpor dari Jepang,
China, Thailand, Singapura, dan Taiwan. Salah satu importir sidat, kata
Ishitani, mendatangkan 4 ton kabayaki tiap bulan dari China untuk
kebutuhan restoran di Jakarta.
“Yang lokal kualitasnya belum sebagus impor. Yang impor lebih
lembut, rasa lebih gurih, kualitas kontrolnya bagus. Lokal kadang masih ada
durinya. Menu tertentu biasanya pakai impor,” imbuh Toar Christoper, pemilik
sekaligus Executive Chef Sushi Joobu Restaurant di Pesanggrahan, Kembangan,
Jakarta Selatan. Selain itu, sidat lokal terkadang berbau tanah.
Sementara itu, sidat juga digemari warga Amerika dan
Eropa. “Eropa yang senang makan sidat itu Jerman, Belanda. Mintanya sidat asap.
Kalau di Belgia, (sidat) dibuat sop,” I Made Suitha, Kepala Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Jepara, menambahkan.
Tak ada Spesifikasi
Tak ada spesifikasi khusus sidat yang laku di pasar.
Umumnya, hanya mengandalkan ukuran. Sidat untuk konsumsi biasanya berukuran 250
– 400 gram (g). Namun, sidat laris diperdagangkan dari mulai glass eel
(benih ukuran 0,09 g) hingga ukuran konsumsi.
“Untuk konsumsi ukuran 250 g belinya Rp50 ribu/kg, fingerling
ukuran 10 – 20 g beli Rp150 ribu/kg, elver ukuran 30 – 150 g beli Rp120
ribu/kg, glass eel ukuran 1 mg beli Rp700 ribu/kg (isi 5.000 – 6.000
ekor/kg),” terang C.E. Engkan, pedagang pengumpul sidat di Cidadap, Pelabuhan
Ratu, Sukabumi, Jabar.
Pria yang berbisnis sidat sejak 1992 itu membeli sidat
dari pedagang pengumpul lain di kawasan Sukabumi, Cianjur, Garut (ketiganya di
Jabar), Lebak (Banten), hingga Cilacap (Jateng). Satu sidat ukuran konsumsi
menghasilkan rendemen 60% untuk diolah jadi kabayaki. “Kepala, duri, dan
ekor dibuang,” ucap Nana Sujana, Manajer PT JSI.
Di Indonesia, menu masakan sidat dijual Rp26 ribu – Rp1
juta/porsi. Di Sakura Restaurant misalnya, menu unagi kabayaki dijual
seharga Rp400 ribu/porsi. Kabayaki itu disajikan secara utuh. Sementara
di Okinawa, Jepang, menu masakan sidat, berkisar 500 – 700 yen (Rp50 ribu –
Rp70 ribu/porsi). Salah satu menu yang ditawarkan adalah unagi donburi.
Yakni, nasi disajikan dalam mangkuk yang ditutupi tumis kol, sidat
bakar/goreng, dan dilengkapi acar.
Bangun Inti Plasma
Kendati permintaan pasar terus meningkat, pasokan benih
jadi kendala lantaran masih mengandalkan tangkapan alam. “Sejauh ini,
pembenihannya belum berhasil. Semua masih mengandalkan alam,” kata Slamet
Soebjakto, Dirjen Perikanan Budidaya, KKP, saat kunjungan ke PT JSI (19/4).
Selain itu, ketersediaan pakan juga jadi hambatan karena
belum tersedia pakan khusus. “Ini ‘kan masih hal baru, kita akan cari terus
formula yang tepat,” kata Totok, begitu ia disapa. Tapi, sambungnya, potensi
untuk dibudidayakan masyarakat sangat besar. “Potensi kita luar biasa, yang
terbesar di dunia sebetulnya karena semua perairan di Indonesia ini di muaranya
keluar sidat semua,” kata Totok. (Baca: Bersyukur Jadi Lumbung Glass Eel)
Untuk menjamin keberlangsungan usaha sidat, pelaku usaha
di hulu hingga hilir harus membentuk kemitraan, inti-plasma. JSI misalnya,
dimediasi KKP, berencana menggandeng Pemda Sulteng untuk menyuplai benih ukuran
2-5 g. Suplai benih dari Kab. Parigi Moutong (Sulteng) masih cukup banyak,
didukung lingkungan alam yang sehat. “Masyarakat nanti memelihara dari glass
eel ke elver, elver ke juvenile (fingerling)
yang 5 g. Ada segmentasi,” lanjut Totok.
Segmentasi tersebut diperlukan agar budidaya sidat lebih
efisien karena pemeliharaannya cukup lama. Di samping itu, bisa menimbulkan multiplier
effect beredarnya mata rantai nilai budidaya di kalangan masyarakat.
Pada akhirnya, kas daerah ikut bertambah.
Di kalangan individu, sudah ada yang menerapkan pola inti
plasma membangun usaha pembenihan, pendederan, hingga pembesaran sidat. Salah
satunya Yopie Yuliarso, yang merintis usaha budidaya sidat di lingkungan
perumahan. “Saya bangun plasma, anggap saja saya mbesarin glass eel rame-rame,”
jelasnya.
Menurut Yopie, belum ada pembudidaya yang bermain pada
pendederan karena tak tahu pasarnya. Kebanyakan orang tertarik usaha pembenihan
dan pembesaran. Padahal, untuk mencapai ukuran konsumsi, sidat perlu menempuh
tahap pembenihan dan pendederan. “Sebelumnya tak ada plasma yang main
dari ukuran 10 gram ke 100 gram. Belum ngerti tiap segmen ada
hasilnya,” tuturnya.
Yopie membagi siklus budidaya jadi tiga segmen, yaitu,
glass eel – elver (5 - 6 bulan), elver – fingerling (3 - 4
bulan), fingerling – konsumsi (3 - 4 bulan). Plasma membeli benih dan
menjual hasilnya pada dirinya untuk diputar ke plasma tahap berikutnya. Jadi,
perputaran budidaya sidat akan berjalan. Ia menganjurkan plasma hanya menjual
70% hasil panen, sisanya disimpan sebagai tabungan musim berikutnya.
Pemeliharaan glass eel sampai fingerling
bisa dilakukan di rumah menggunakan akuarium. Untuk memulai usaha sidat di rumah
misalnya, cukup memelihara 3 kg glass eel dalam 6 akuarium ukuran 100 cm
x 50 cm x 35 cm. Hasil panennya pada 5-6 bulan mendatang sekitar 45 kg elver.
Dengan biaya investasi Rp7,2 juta dan modal awal sekitar Rp3,5juta, pembudidaya
akan memperoleh pendapatan Rp15,7 juta. “Setahu saya, yang berhasil kemarin itu
dia dua kali tanam sudah kembali semua. Dia main glass eel, 2,2 kg dan 3
kg. Itu sudah balik modal,” paparnya antusias siang hari itu.
Windi L., Peni SP, Ratna BW., Renda D, Syaiful H, Syatrya
U, Tri MR, Yuwono IN, Isman (Yogya)Sumber :
http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=7&aid=3603